Aceh Punya CO2 dan Tempat Penyimpanan, Serap Lapangan Kerja?
ACEHLIVE.COM – Dalam penemuan-penemuan gas di sekitar lapangan Arun, Aceh Utara, terdeteksi adanya kandungan karbon dioksida (CO2) yang signifikan.
Kandungan CO2 yang tinggi di Aceh dapat dikomersialkan sehingga dapat meningkatkan produksi gas dan menyerap tenaga kerja di provinsi ini, serta menambah Pendapatan Asli Aceh (PAA).
Namun, pemanfaatan dan pengembangan lapangan (lokasi yang mengandung C02) tersebut tanpa mempertimbangkan penanganan CO2 akan sulit karena komitmen Pemerintah RI atas lingkungan harus sesuai dengan Protokol Kyoto (2005) dan Protokol Paris (2015).
Apalagi kemungkinan ditemukannya gas lainnya di masa-masa mendatang, maka Aceh akan menghadapi masalah yang sama terkait tingginya kadar CO2.
Sehubungan dengan hal ini, maka carbon capture storage (CCS) diharapkan dapat menjadi solusi sebagai tempat penyimpanan CO2 untuk pengurangan emisi yang berdanpak buruk terhadap lingkungan.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) Aceh, Ir Mahdinur MM kepada Serambinews.com di Banda Aceh, Selasa (2/7/2024) pagi.
Menurutnya, apabila proyek CCS ini berhasil, maka akan dapat membuka lapangan kerja untuk masyarakat Aceh dan menambah Pendapatan Asli Aceh di masa depan.
Ia rincikan, saat ini Aceh memiliki lapangan Arun sebagai salah satu kandidat utama untuk carbon capture and storage (CCS) di Aceh.
Lapangan Arun merupakan lapangan gas yang telah mengalami penurunan jumlah produksi gas alam (depleted production) terbesar di ASEAN dan memiliki potensi menyimpan gas CO2 dalam jumlah besar.
Kedua, lapangan-lapangan gas yang belum dikembangkan dengan kandungan CO2 tinggi di Aceh dapat pula dikomersialkan sehingga dapat meningkatkan produksi gas di Indonesia dan juga lapangan migas di negara lain sekitar Indonesia, seperti Vietnam, Thailand, dan Singapura.
Mandinur memprediksi, Singapura adalah salah satu negara penghasil CO2 yang berpotensi untuk melakukan bisnis karbon di Indonesia.
Secara keseluruhan, lanjutnya, pasar CCS berkembang sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi emisi CO2. Juga untuk memainkan peran penting dalam mendukung tujuan-tujuan mitigasi perubahan iklim, meskipun tantangan teknis, ekonomi, dan regulasi masih ada dalam pengimplementasian teknologi ini secara luas.
Ia tambahkan bahwa potensi pasar CCS merujuk pada kegiatan ekonomi dan perdagangan yang terkait dengan teknologi CCS.
Teknologi CCS dirancang untuk menangkap gas karbon dioksida dari sumber-sumber seperti pembangkit listrik, pabrik industri, atau proses alam lainnya. Lalu mengangkut dan menyimpannya jauh di bawah permukaan Bumi untuk mencegah gas rumah kaca (GRK) ini mencapai atmosfer.
Sehubungan dengan itu, kata Mahdinur, PT Pembangunan Aceh (Pema) dan Carbon Aceh Pte Ltd sepakat melakukan joint venture agreement (JVA) atau perjanjian usaha patungan) tentang project carbon capture and storage di Lapangan Gas Arun, Aceh Utara. Sehingga, terbentuk perusahaan PT Pema Aceh Carbon (PAC) yang saat ini sedang dilakukan studi kelayakan untuk mengelola CCS di Ladang Arun.
Mahdinur menambahkan bahwa sejauh ini ada dua Perjanjian Hijau yang paling terkenal di dunia yang dapat dijadi dasar kebijakan carbon capture storage (CCS) di Indonesia dan Aceh khususnya, yakni:
1. Paris Agreement (Perjanjian Paris)
Perjanjian Paris dinegosiasikan oleh 196 pihak pada Konvensi Perubahan Iklim PBB pada tanggal 12 Desember 2015 di Paris, Prancis.
Dilansir dari situs UNFCCC, berikut beberapa isi Paris Agreement:
a. Berupaya membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celsius, dan di bawah 2º Celsius untuk tingkat praindustri.
b. Mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa, guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target emisi net zero atau nol bersih.
c. Seluruh negara wajib memiliki dan menetapkan target pengurangan emisinya.Target ini akan ditinjau tiap lima tahun sekali agar meningkatkan ambisi pengentasan perubahan iklim.
d. Negara maju membantu negara miskin dalam pendanaan atau pembiayaan iklim, mendukung implementasi energi terbarukan yang lebih efektif, serta beradaptasi dengan perubahan iklim.
2. Protokol Kyoto – Jepang
Ini merupakan traktat international yang memperpanjang konvensi kerangka kerja perubahan iklm PBB (UNFCCC) untuk mengurangi gas rumah kaca.
Hal ini sesuai dengan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO2 pada atmosfer Bumi.
Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrous oxide, belerang heksafluorida, HFC, dan PFC) yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012.
Protokol ini dinegosiasikan di Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, dan dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998, dan ditutup pada 15 Maret 1999.
Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Upaya-upaya untuk memenuhi Zero Net Emision (ZNE) diharapkan melalui:
– carbon capture storage (CCS)
– carbon sequestration (CS)
– memanfaatkan sumber energi dari nonfosil, seperti air, bayu, dan surya (energi terbarukan atau renewable energy).
“Terkait hal ini CCS diharapkan dapat menjadi solusi sebagai tempat penyimpanan CO2 untuk pengurangan emisi tersebut;” kata Mahdinur.
Regulasi terkait CCS
Menurut Mahdinur, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Kemudian, ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
Selain itu, Pemerintah Aceh atas insiasi Banleg DPRA serta didukung Tim Ahli saat ini sedang menyusun Rancangan Qanun Aceh tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Karbon dalam Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi Aceh.
“Diharapkan dengan adanya qanun ini dapat menjadi payung hukum bagi pengelolaan karbon yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kekhususan Aceh,” demikian Mahdinur.
Apa manfaat C02?
Karbon dioksida merupakan senyawa karbon dengan oksigen yang berupa gas tanpa warna, lebih berat dari udara, tidak terbakar, dan larut dalam air (digunakan dalam alat pemadam kebakaran).
Peran CO2 bagi tubuh ternyata penting, terutama dalam mengatur tingkat keasaman (pH) darah dan mendukung proses pernapasan.
Jika kadar CO2 terlalu banyak atau terlalu sedikit, maka bisa terjadi gangguan keseimbangan asam basa dan keracunan karbon dioksida.
Unsur karbon juga menjadi salah satu unsur penting yang dibutuhkan makhluk hidup untuk menghasilkan biomassa dan sumber energi bagi organisme yang memiliki zat hijau daun (klorofil).
Sumber: Tribunnews dotcom