Aceh Miliki Harta Karun, Pulau Emas yang Dicari Orang Yunani dan Arab, Ini Lokasinya
ACEHLIVE.COM – Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terletak pada 20 – 60 LU dan 950 – 980 BT. Berbatasan (laut) dengan India, Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Di sebelah Timur, Provinsi NAD berbatasan dengan laut dan darat dengan Provinsi Sumatera Utara.
Luas wilayah Provinsi NAD adalah 57.365,57 km2 terdiri dari atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 di atas permukaan laut. Provinsi NAD memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah danau.
Mayoritas penduduk di Provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu provinsi NAD memiliki keistimemawaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini berlaku Syariat Islam.
Ibukota dan bandar terbesar di Provinsi NAD adalah Banda Aceh. Bandar besar lain adalah Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa.
Provinsi NAD secara administratif terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 228 Kecamatan, 629 Mukim, 5947 Kelurahan/Desa dengan jumlah penduduk sebanyak 4.163.250 jiwa.
Provinsi NAD memiliki banyak aspek potensial, salah satu di antaranya adalah pariwisata. Sejarah membuktikan bahwa Kesultanan Aceh merupakan salah satu dari lima besar dalam mengembangkan Islam ke seluruh dunia.
Situs-situs sejarah banyak ditemukan di seluruh wilayah Provinsi NAD. Potensi lainnya yang terdapat pada Provinsi NAD adalah hasil taninya yang meliputi padi dan palawija.
Selain itu Provinsi NAD juga memiliki potensi hasil laut dan hasil perkebunan yang cukup singnifikan.
Lokasi Harta Karun Emas di Aceh
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia.
Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Tambang emas di Aceh bukanlah hal baru. Meski sekarang banyak sekali bertebaran tambang emas ilegal yang secara ekonomi lebih besar mengalir ke luar Serambi Mekkah, di masa silam tambang emas itu diusahakan langsung oleh kesultanan.
Setidaknya menurut sejumlah catatan, tambang emas di Aceh pernah dilakukan di wilayah kekuasaan Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam.
Emas urai merupakan salah satu komoditas sejumlah kerajaan di Aceh. emas itu ditambang di sepanjang aliran sungai pada waktu itu.
Keahlian menambang emas didapatkan oleh Aceh setelah belajar dari lancarnya perdagangan dari Timur ke Barat. Dari Barat ada bangsa Persia, Yunani (Gersik/Greek), dan Surya (Arab).
Dari Timur ada bangsa Tionghoa dan Pegu, yang memegang peranan penting dalam perdagangan emas urai dan sarang burung.
Para sarjana Yunani (Romawi) dan Parsia banyak yang ahli dalam ilmu pertambangan emas. Merekalah yang mengajar anak-anak negeri menginang emas dari sungai yang mengandung emas.
H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) yang diterbitkan oleh Pustaka Iskandar Muda, Medan, menulis bahwa Peureulak merupakan negeri di Aceh saat ini yang sungai/alurnya memiliki emas oleh orang Parsia.
Lokasi tempat pertambangan emas di masa itu, dikenal dengan Alue Meuh (Alur Mas), yang letaknya tidak jauh dari bekas istana Raja Peureulak. Daerah tersebut sekarang ini dikenal dengan Paya Meuligoe. Di sekitar istana Raja Peureulak juga ditemukan banyak telaga minyak tanah.
Akan tetapi sangat sedikit catatan tentang Kerajaan Peureulak. Secara samar-samar sudah diketahui dalam Abad XI. Namun baru terang benderang dalam tahun 1292 setelah Marcopolo datang ke sana.
Tambang emas di Aceh juga dicatat dalam sejarah pernah ada di Pase, setelah didirikannya Kerajaan Pasai. Tambang emas dibangun di hulu Sungai Pasai, di atas Kampung Perak. Tambang emas tersebut dikerjakan oleh sarjana dari Persia.
Dalam sebuah legenda disebutkan bahwa pada suatu hari Meurah Silu memasang lukah di Sungai Peusangan. Lukah itu dihanyutkan oleh banjir besar. Setelah diambil dan kemudian isinya direbus, terdapatlah emas. Tempat Meurah Silu memasang lukah yaitu di Krueng Meuh, yang saat ini berlokasi di atas Awee Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Bireuen.
Bukti otentik tentang tambang emas di Pasai dapat dilihat dari mata uang yang digunakan oleh Kerajaan.
Sultan Malikussaleh merupakan raja satu-satunya yang mulai membuat alat tukar dari emas, yang disebut derham emas (Pasaiche gouden munten) yang dikeluarkan oleh Sultan Zainal Abidin Bahian Syah, dan Ratu Buhayah. Saat itu raja-raja di tempat lain mengeluarkan uang dari kulit dan timah.
Sesudah Sultan Malikusaaleh, barulah sultan-sultan lain di Aceh terus menerus membuat alat pertukaran dari emas, yang disebut derham emas (Atjehsche gouden munten). Pembuatan alat tukar tersebut berlangsung hingga ujung kekuasaan Sultanah Syafiatuddin Syah (1641-1675).
Pada masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah, tambang emas dibangun di Geumpang (Pidie). Di dalam Sungai Geumpang yang berjarak kira-kira 100 kilometer dari Sigli berhasil ditemukan emas urai.
Emas urai tersebut merupakan salah satu komoditas perniagaan Aceh yang sangat maju kala itu.
Bahkan karena saking besarnya, VOC menjadi tukang seludup emas urai. Mereka kemudian meminta memonopoli perdagangan emas urai.
Tapi ditolak oleh Sultanah. Aceh Darussalam tetap hanya bersedia berniaga emas dengan mitra lamanya yaitu Inggris, India, Parsia, Arab, dan Tionghoa.
Di masa Sultan Djamalul Alam (1711-1733) dibuka tambang emas di Aceh yaitu di hulu Sungai Meulaboh, tepatnya di Tutut. Semua hasilnya dibawa ke Bandar Aceh untuk selanjutnya diniagakan.
Pada masa Sultan Djohar Alam Syah (1802-1830) pusat perniagaan emas tidak lagi di Bandar Aceh, tapi berpindah ke bandar di Pulau Penang. Penang menjadi pusat niaga emas hingga Aceh diserbut oleh Belanda pada 1873.
Selama peperangan dengan Belanda, penambangan emas dihentikan. Seluruh rakyat mengambil peran dalam perang fisabilillah.
Rakyat sibuk bergerilya dari rimba ke rimba. Pemerintah Belanda tidak berani mengambil alih tambang, karena rimba dikuasai oleh pasukan muslimin.
Sumber : Rbtv dot disway dotid