Deforestasi Hutan Aceh dan Ilegal Logging Ancam Ekosistem Lingkungan serta Bencana Alam
ACEHLIVE.COM -Kondisi hutan Aceh tidak pernah lepas dari ancaman perambahan, alih fungsi lahan, dan pertambangan ilegal.
Berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 580/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2018 tahun 2018, luas kawasan hutan Aceh mencapai 3.551.329 hektar, atau 55 persen dari luas daratannya.
Aceh termasuk dalam sembilan provinsi yang memiliki luas tutupan hutan terluas di Indonesia setelah Papua Barat, Kalimantan Utara, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, dan Gorontalo.
Namun, berdasarkan hasil perhitungan GIS Yayasan HAkA, hingga tahun 2023, luas hutan Aceh hanya 2,94 juta hektar. Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 610.000 hektar.
“Pada 2023 saja, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 8.906 hektar. Rinciannya di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] seluas 4.854 hektar dan sisanya 4.052 hektar di luar KEL,” terang Lukmanul Hakim, Manager Geographic Information System [GIS] HAkA, Kamis [29/2/2024].
Lukman mengatakan, untuk 2023, kabupaten/kota yang paling luas kehilangan tutupan hutannya adalah Aceh Selatan [1.854 hektar], Kota Subulussalam [911 hektar], Aceh Utara [866 hektar], Aceh Timur [611 hektar], dan Aceh Barat [557 hektar].
“Berdasarkan status kawasan hutan, Suaka Margasatwa Rawa Singkil kehilangan tutupan hutan seluas 832 hektar, Taman Nasional Gunung Leuser [81 hektar], hutan lindung [1.598 hektar], hutan produksi terbatas [278 hektar], hutan produksi konservasi [13 hektar], hutan produksi [1.573 hektar], dan taman buru [31 hektar]. Sementara cagar alam, tahura dan TWA darat seluas 31 hektar, serta hutan yang masuk area penggunaan lain mencapai 4.422 hektar,” jelasnya.
Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Afifuddin mengatakan, upaya perlindungan dan perbaikan hutan di Aceh belum sering dibicarakan di ruang publik.
“Padahal kondisinya tidak baik-baik saja,” terangnya, Kamis [18/4/2024].
Total deforestasi delapan tahun terakhir mencapai 130.743 hektar. Bila terus dibiarkan akan sangat tidak baik terhadap lingkungan.
“Meskipun ada penurunan deforestasi pada 2020-2021 sebesar 61,17 persen, namun pada 2021-2022 naik sekitar 3,78 persen, yaitu bertambah 355 hektar. Atau, menjadi 9.383 hektar pada 2022.”
Afif menambahkan, Pemerintah Aceh belum mampu mengendalikan deforestasi mengingat kemampuan reboisasi rata-rata 785 hektar per tahun.
“Diperkirakan butuh waktu sekitar 171 tahun untuk mengembalikan tutupan hutan yang rusak,” ungkapnya.
DAS juga memprihatinkan
Daerah aliran sungai [DAS] yang berfungsi untuk menerima, mengumpulkan air hujan, dan mengalirkannya melalui anak-anak sungai, sebagian dalam kondisi kritis.
Hasil pantauan Walhi Aceh menunjukkan, 20 DAS kondisinya sangat kritis, seperti yang terjadi pada DAS Alas – Singkil, Jambo Aye, Tamiang, Krueng Tripa, dan Peusangan.
“Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan, antara lain masih marak perambahan serta penebangan kayu ilegal,” ungkap Afif.
Rusaknya DAS dapat dilihat dari intensitas bencana yang terjadi, khususnya banjir. Seperti yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Kota Subulussalam yang masuk dalam DAS Alas – Singkil, setiap tahun langganan banjir.
“DAS Alas – Singkil menduduki peringkat pertama di Aceh yang harus diperbaiki. Pada 2022, luasnya 421.531 hektar yang sebelumnya sekitar 1.241.775 hektar. Artinya, sekitar 820.244 hektar rusak parah.”
Begitu juga DAS Jambo Aye. Luas awalnya 479.451 hektar dan pada 2022 hanya 265.073 hektar, atau hilang 45 persen. Sedangkan DAS Peusangan yang luasnya 245.323 hektar, kini tersisa 75,04 persen. Sementara DAS Tamiang yang luasnya 494.988 hekar, sekarang menjadi 314.566 hektar.
Sementara, total luas DAS Aceh dan sebagian Sumatera Utara atau Wilayah Sungai Alas-Singkil mencapai tujuh juta hektar lebih, baik itu yang memiliki tutupan hutan maupun tidak.
“Beberapa DAS lain yang relatif parah, dengan luasan total masih berada di bawah ratusan hektar, juga butuh perbaikan,” ujar Afif.
Badan Penanggulangan Bencana jiAceh [BPBA] mencatat, sebanyak 418 kejadian bencana alam melanda Aceh pada 2023, dengan total kerugian mencapai Rp430 miliar. Sementara pada 2022, terjadi 469 bencana alam dengan nilai kerugian Rp335 miliar.
“Kerugian dihitung dari kerusakan infrastruktur, harta benda warga, dan lahan pertanian,” jelas Kepala Pelaksana BPBA, Ilyas, Kamis [4/1/2024].
Banjir pada 2023 terjadi 105 kali, yang berdampak pada 8.047 rumah, 15 tanggul dan delapan jembatan, serta merendam 4.838 hektar sawah. Kebakaran hutan dan lahan [karhutla] terjadi 85 kali dengan luas lahan terbakar sekitar 252 hektar. Angin puting beliung sebanyak 44 kejadian yang merusak 306 rumah warga. Sementara longsor terjadi 27 kali, banjir bandang tiga kali, dan abrasi dua kali.
“Berbagai bencana ini menyebabkan sembilan orang meninggal dunia, 10 orang luka-luka, dan berdampak pada 289.235 jiwa, dengan jumlah pengungsi 25.020 orang,” jelasnya.
- Berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 580/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2018 tahun 2018, luas kawasan hutan Aceh mencapai 3.551.329 hektar.
- Namun, berdasarkan hasil perhitungan GIS Yayasan HAkA, hingga tahun 2023, luas hutan Aceh hanya 2,94 juta hektar. Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 610.000 hektar.
- Pada 2023 saja, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 8.906 hektar. Rinciannya di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] seluas 4.854 hektar dan sisanya 4.052 hektar di luar KEL.
- Pemerintah Aceh belum mampu mengendalikan deforestasi mengingat kemampuan reboisasi rata-rata 785 hektar per tahun. Diperkirakan butuh waktu sekitar 171 tahun untuk mengembalikan tutupan hutan yang rusak.
Sumber: mongabay dotco dotid