ACEHLIVE.COM–Kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan baru menyebar di Aceh pada 29 Agustus 1945. Berita ini dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan dan Dr. M. Amir dari Jakarta. Beragam reaksi kemudian muncul.
Teuku M. Hasan yang diangkat sebagai Gubernur Sumatra, mengumumkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah resmi berjalan di Sumatra pada Oktober 1945, dan Aceh ditetapkan sebagai wilayah keresidenan.
Teuku Nyak Arif yang berasal dari uleebalang (bangsawan/raja lokal di Aceh) ditetapkan sebagai Residen Aceh. Ia mengangkat laskar Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang anggotanya didominasi kaum uleebalang sebagai pasukan resmi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Aceh.
Hal ini menimbulkan kekecewaan dari kelompok ulama, khususnya yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpin Tengku Daud Beureueh. Ia menaruh kecurigaan terhadap uleebalang.
PUSA kemudian mendirikan laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 12 Oktober 1945, dan menyatakan tetap setia mendukung Republik Indonesia.
Di sisi lain, suara uleebalang terpecah, sebagian mendukung kemerdekaan, sisanya menolak. Teuku Nyak Arif pro kemerdekaan. Sedangkan Teuku Daud Cumbok dari Kecamatan Cumbok dan sebagian besar uleebalang lainnya, khususnya di Kabupaten Pidie, bersikap kontra.
Menurut mereka, Indonesia belum siap menjalankan pemerintahan sendiri karena tidak ada jaminan terhadap pemulihan kekuasaan terhadap wilayahnya masing-masing, seperti pada masa kolonial Belanda.
Pada 12 Oktober 1945, Teuku Daud Cumbok melarang sekelompok pemuda yang mencoba mengibarkan Bendera Merah Putih di Lam Meulo. Ia menyuruh para pengikutnya untuk mencabut semua poster dan pamflet yang berisi kalimat-kalimat dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sepuluh hari kemudian, ia bersama para uleebalang di Pidie berkumpul dalam acara kenduri di rumah Teuku Umar Keumangan di Beureunun. Mereka yang hadir sepakat untuk membentuk laskar yang diberi nama Markas Uleebalang untuk menandingi kekuatan PUSA dan PRI.
Dalam merekrut anggota, Teuku Daud Cumbok menyebarkan berita bahwa dirinya telah diberi kewenangan oleh Sekutu untuk mengorganisasi sebuah unit penjaga perdamaian di Pidie. Ia berhasil merekrut beberapa tentara eks KNIL dan tentara Jepang untuk melatih pasukannya.
Berawal dari Polarisasi
Seturut Junaidi Ahmad dalam Prang Cumbok: Revolusi Sosial di Luhak Pidie (2021), awal mula konflik antara uleebalang dengan ulama terjadi pada 1874 saat Belanda melakukan polarisasi melalui perjanjian Korte Atjeh-Verklaring (Perjanjian Pendek Aceh).
Dalam perjanjian tersebut, Belanda dan uleebalang saling mengakui kedaulatannya di Aceh dan setiap musuh Belanda adalah musuh bagi uleebalang. Hal ini menimbulkan reaksi dari kelompok ulama dengan menyematkan cap pengkhianat kepada uleebalang, yang sebelumnya turut menentang Belanda.
Menjelang Perang Dunia II, kelompok ulama membangun jaringan komunikasi dengan Badan Intelijen Jepang di Asia Tenggara untuk membantu mempercepat masuknya Jepang ke Aceh. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu mereka dalam mengusir dan menghancurkan sistem kolonial Belanda di Aceh.
Namun, mengutip T. Hajriansyach dalam “Perang Cumbok di Aceh pada 1945—1946” (Jurnal Ilmu Sejarah Vol. 4, No. 6, 2019, hlm. 1-15), Jepang juga ternyata memakai tradisi Belanda dengan mengangkat kelompok uleebalang untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.
Ketegangan antara kelompok ulama dan uleebalang pun terus berlanjut.
Perang Cumbok
Sejak akhir Oktober hingga awal November 1945, percikan konflik bersenjata mulai menyala. Ditandai dengan serangan dari pasukan Markas Uleebalang di Lam Meulo. Mereka menangkap dan menahan sejumlah anggota laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang sedang bertugas menjaga kantor pos dan telepon. Mereka juga menguasai sebuah bangunan yang dijadikan tempat pertemuan pasukan PRI.
Pemerintah Daerah segera mengirim utusan ke Markas Uleebalang. Namun, utusan tersebut diperlakukan tidak baik. Tidak lama kemudian Lam Meulo dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Markas Uleebalang dan mereka berencana menduduki kota Sigli.
Di tengah situasi yang mulai panas, PUSA berdemontrasi menentang keberadaan utusan Sekutu di Aceh, Mayor Knottenbelt, setelah diketahui dirinya berkebangsaan Belanda. PUSA menilai hal tersebut adalah ancaman yang dikhawatirkan memudahkan Belanda kembali ke Aceh. Selain itu, berpotensi merusak kedaulatan Republik Indonesia dan memulihkan kekuasaan uleebalang.
Karena situasi tidak terkendali, utusan Sekutu memutuskan meninggalkan Aceh dan hanya menempatkan perwakilannya, Goh Moh Wan, sebagai penghubung komunikasi dengan Residen Teuku Nyak Arif.
Mengutip kembali Anthony Reid (1979), sebagaimana kegagalan Sekutu dalam menciptakan perdamaian di Aceh, pasukan Jepang yang masih tersisa mengambil sikap “balance of power” terhadap kedua kubu yang sedang dilanda konflik dan memperlambat penyerahan senjata kepada TKR.
Namun, pada November 1945, diam-diam seorang pasukan Jepang, kolonel Muramoto, menyerahkan senjata kepada Bupati Pidie, Teuku Cut Hasan, yang berpihak kepada Markas Uleebalang, untuk mengimbangi jumlah senjata yang dimiliki laskar PRI. Akibatnya, situasi di Aceh semakin menegangkan.
Memasuki awal Desember 1945, Jepang akhirnya mengumumkan berita tentang penyerahan senjata secara resmi kepada TKR di Sigli, dengan mengundang perwakilan dari pemerintah, PUSA beserta laskar PRI, dan Markas Uleebalang.
Kabar itu mendorong 200 anggota pasukan Markas Uleebalang segera bergerak dengan melakukan blokade jalan utama menuju Sigli. Mereka menahan dan menyiksa siapa saja yang dianggap berpihak pada PRI.
Aksi tersebut dibalas laskar PRI cabang Sigli. Di bawah komando pimpinannya, Hasan Aly dan Husein Hab, pasukan dikerahkan dari Garot dan Gigieng untuk melawan dan mengepung pasukan Markas Uleebalang.
Tak lama setelah acara penyerahan senjata selesai pada 4 Desember 1945, massa membanjiri Sigli. Untuk menghindari kemungkinan terburuk, Sjamaun Gaharu (pimpinan TKR di Aceh) melepaskan tembakan peringatan untuk menghentikan gerak massa. Namun, massa anti-uleebalang mengira tembakan berasal dari kelompok Markas Uleebalang yang memberi aba-aba untuk menyerang mereka.
Maka, konflik bersenjata tidak dapat terhindarkan. Pasukan PRI segera mengarahkan tembakan ke pasukan Markas Uleebalang. Dalam peristiwa tersebut 50 orang dinyatakan tewas. Sjamaun Gaharu sempat melarikan diri namun berhasil ditangkap keesokan harinya oleh pasukan PRI karena dianggap memihak pasukan Markas Uleebalang.
Pertempuran berakhir pada 6 Desember 1945 setelah pemerintah mengirim pasukan polisi istimewa yang didampingi kepala staf TKR, Teuku Hamid Azwar. Kedua belah pihak sepakat untuk gencatan senjata dan kembali ke wilayahnya masing-masing.
Tiga hari kemudian, Gubernur Sumatra, Teuku M. Hasan beserta asistennya, Xarim M.S yang merupakan eks Digulis, mencopot Residen Aceh Teuku Nyak Arif dan Bupati Pidie Teuku Cut Hasan dari jabatannya karena dianggap tidak dapat menjaga keamanan.
Pasca Perang
Pada 10 Desember 1945, Teuku Daud Cumbok mengundang seluruh uleebalang dari tiga daerah di Pidie untuk melakukan pertemuan di rumah Teuku Laksamana Umar. Mereka sepakat untuk membentuk laskar baru yang lebih terstruktur dengan nama Barisan Penjaga Keamanan (BPK). Laskar ini terdiri dari Barisan Cap Bintang, Cap Soeh, dan Cap Tombak dengan markas yang berpusat di Lam Meulo.
Mengutip kembali T. Hajriansyach (2019), pada 16 Desember 1945, laskar BPK memulai aksinya dengan menembaki kampung-kampung di sekitar Lueng Putu dan Metareum yang merupakan tempat pemusatan pasukan PRI. Selain itu, mereka membakar Sekolah Agama dan kantor kehakiman.
Untuk meredam pergerakan BPK, pemerintah membentuk Markas Besar Rakyat Umum (MBRU). Pasukan ini segera mengepung markas BPK di Lam Meulo pada 25 Desember 1945.
Sebaliknya, BPK melancarkan serangan besar-besaran terhadap pusat PRI di Metareum. Pemerintah Daerah Aceh menuntut BPK untuk menyerahkan seluruh senjatanya sebelum tanggal 10 Januari 1946. Merasa merugikan, Teuku Daud Cumbok mengabaikan ultimatum tersebut.
Pada 16 Januari 1946, Teuku Daud Cumbok akhirnya ditangkap di kakiGunung Seulawah dan dieksekusi di Sanggeu, kabupaten Pidie. Penangkapan tersebut menjadi tanda berakhirnya Perang Cumbok.
Meski begitu, situasi panas di Aceh tak kunjung reda. Gerakan baru muncul sebagai dampak dari Perang Cumbok, Aceh memasuki revolusi sosial, yang dikenal dengan gerakan “menghancurkan sisa-sisa uleebalang” yang berlangsung hingga 16 Maret 1946.
Meski tidak semua uleebalang menyetujui dan terlibat dalam gerakan Teuku Daud Cumbok, mereka tetap menjadi sasaran penangkapan dan amukan massa. Lebih lanjut, massa menuntut pemerintah untuk mencopot jabatan para uleebalang yang masih duduk di pemerintahan daerah dan dilakukan penahanan.
Mengutip Cut Zahrina dalam artikel “Peristiwa Cumbok”, sejak akhir 1945 hingga Maret 1946, peristiwa ini kurang lebih menimbulkan 3.000 korban jiwa.