Pengembangan Biofuel, Mana yang Lebih Unggul, Bensin Sawit Vs Bioetanol
ACEHLIVE.COM – Belakangan ini, pemerintah mulai getol menyuarakan niat untuk mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel) untuk pengganti bensin berbasis energi fosil. Salah satu opsi yang menyeruak adalah bioetanol.
Bioetanol yang akan dikembangkan adalah yang berbasis tebu. Selain tebu, ada banyak jenis tanaman yang bisa diolah menjadi bahan baku bensin ramah lingkungan, mulai dari jagung, jarak, rumput laut, hingga kelapa sawit.
Meski selama ini kelapa sawit banyak digunakan untuk bauran biodiesel, minyak dari tanaman tersebut dapat juga diolah untuk bahan baku bensin sawit (bensa). Lantas, mana yang lebih unggul, bensa atau bioetanol berbasis tebu?
Akademisi sekaligus pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menjelaskan bensa memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan dengan bioetanol, maupun bensin biasa seperti Pertamax dan Pertalite.
Yannes mengatakan, nilai kalor bensa murni adalah 33,8 MJ/liter, sementara bioetanol murni 21,1 MJ/liter. Sebagai perbandingan, Pertamax dengan research octane number (RON) 92 memiliki nilai kalor 24,2 MJ/liter dan Pertalite dengan RON 90 memiliki nilai kalor 23,5 MJ/liter.
“Secara teknis, makin tinggi nilai kalor bahan bakar, makin banyak energi panas yang dihasilkan,” terang Yannes saat dihubungi, Selasa (7/5/2024).
“Namun, komposisi [bauran] —baik bioetanol maupun bensa— tidak bisa langsung 100% karena harus dilakukan penyesuaian dengan kondisi dan jenis serta spesifikasi motor bakar yang akan menggunakan biofuel tersebut agar dapat sesuai dengan rancangan compression ratio dari masing-masing jenis mesin.”
Kendati demikian, Yannes menggarisbawahi bensa dan bioetanol merupakan bahan bakar dengan emisi gas buang yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan BBM fosil. Artinya, keduanya dapat membantu mengurangi efek rumah kaca.
Selain itu, bensa dan bioetanol merupakan sumber daya terbarukan dan berkelanjutan yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil.
“Bioetanol dan bensa sendiri jelas merupakan alternatif pilihan rasional untuk Indonesia dalam jangka pendek ini. Jelas keduanya memiliki potensi untuk menjadi pengganti Pertalite yang lebih ramah lingkungan,” ujar Yannes.
“Namun, [pemerintah] perlu mengatasi beberapa tantangan seperti nilai kalor yang lebih rendah, ketidakpastian pasokan, dan harga.”
Yannes menambahkan alternatif lain untuk menciptakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan adalah hidrogen dan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Untuk hidrogen, Pertamina sudah memulainya sejak awal tahun ini dengan beberapa pemain besar dunia, di antaranya Toyota Motor Corporation. Selain itu, Indonesia saat ini sedang menggenjot ekosistem EV di Indonesia menuju 2030,” ujar Yannes.
Harga Kompetitif
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menjelaskan bensa memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan bioetanol. Hal ini terjadi karena tingkat RON dari bensa bisa mencapai 120.
Selain itu, bensa saat ini juga dibanderol dengan harga yang kompetitif, yakni Rp15.000/liter. “Sehingga [bensa] sangat cocok untuk menggantikan Pertamax Turbo yang harganya sekitar Rp15.500/liter,” ujar Djoko kepada Bloomberg Technoz.
Terakhir, Indonesia juga memiliki kapasitas produksi bensa dalam negeri yang mencapai 318.770 kiloliter (kl). Angka ini, menurutnya, sangat jauh dibandingkan dengan kapasitas produksi bioetanol dalam negeri yang baru mencapai puluhan ribu kl.
“Jadi masih diperlukan produksi yang besar untuk memenuhi kebutuhan atau mengganti Pertamax Turbo dengan bioetanol atau bensa ini,” ujarnya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengatakan Indonesia sebenarnya sudah memiliki 11 industri yang memproduksi bioetanol, tetapi yang bergerak baru 2 industri dengan kapasitas produksi 30%.
“Kita sudah punya 11 industri yang memproduksi bioetanol, tetapi yang bergerak cuma 2. Itu pun hanya 30% kapasitasnya. Kapasitas sekarang dari 2 perusahaan itu baru 400.000 kiloliter,” ujar Eniya saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2024).
Pengembangan Bensa
Adapun, bensa dikembangkan atas kerja sama Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Demonstrasi produksi dilaksanakan pada 11 Januari 2022. Saat demonstrasi tersebut dilakukan juga uji coba bensa terhadap kendaraan roda dua dan roda empat. Hasilnya, bensa dapat bekerja dengan baik sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Bensin dari sawit ini memiliki nilai RON sangat tinggi, yakni pada rentang 105—112, Maka, produknya bisa dicampur dengan nafta yang dihasilkan dari minyak fosil.
“Nafta punya bilangan oktan 70—80. Dengan demikian, apabila dicampur dengan perbandingan tertentu, kita bisa dapat bensa dengan RON 93, itu yang kita demokan di workshop,” ujar anggota Kelompok Keahlian Teknologi Reaksi Kimia dan Katalis Fakultas Teknologi Industri ITB, Melia Laniwati Gunawan dalam siaran pers.
Artikel ilmiah dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) melaporkan substitusi bensin fosil dengan green fuel berbasis sawit akan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang cukup besar.Apalagi, emisi per ton minyak sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi per ton minyak nabati lainnya.
Berkaca dari mandatori biodiesel B30 yang menyubstitusi solar fosil dengan biodiesel, PASPI melaporkan, sawit berimplikasi pada penghematan emisi.
Berdasarkan data PASPI Monitor pada 2021, perubahan mandatori biodiesel dari B10 ke B20 meningkatkan penghematan emisi GRK dari hanya sekitar 592.300 ton CO2 eq pada 2010 menjadi 22,3 juta ton CO2eq pada 2020.
Penghematan emisi akibat mandatori B30 pada 2020 juga mampu menyumbang sekitar 59% pencapaian target nationally determined contributions (NDC) Paris Agreement dari sektor energi dan transportasi.
Kapasitas Bioetanol
Di lain sisi, bioetanol pertama kali ramai diperbincangkan usai PT Pertamina (Persero) menyatakan bakal menjual hanya tiga jenis bensin pada 2024, yang diklaim lebih ramah lingkungan. Dari ketiganya, tidak akan ada lagi Pertalite.
Bahan bakar itu kembali mencuat ke permukaan usai Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengonfirmasi pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.
Dilansir melalui laman Repsol, Amerika Serikat (AS) dan Brasil sebenarnya sudah lama mengembangkan etanol, yang pada akhirnya membuat kedua negara tersebut menjadi eksportir utama dari bioetanol di seluruh dunia.
Setidaknya terdapat 2 jenis bioetanol yang berkembang, yakni generasi pertama (1G) dan tingkat lanjut.
Bioetanol generasi pertama berasal dari tanaman yang dibudidayakan secara khusus untuk produksinya. Sementara itu, bioetanol tingkat lanjut berasal dari limbah pertanian atau perkotaan, terutama dari penguraian biomassa yang berasal dari kayu.
Bioetanol dinilai mampu mengurangi emisi CO2. Meskipun menghasilkan CO2 ketika dibakar, sebenarnya CO2 tersebut berasal dari CO2 yang diserap oleh tanaman seiring pertumbuhannya, dan jumlah tersebut juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan CO2 yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil; selisihnya berkisar antara 19% (dari tanaman jagung) hingga 86% (dari residu biomassa).
Selain itu, bioetanol tidak menghasilkan limbah. Pembakarannya tidak menghasilkan bau atau limbah. Hal ini memungkinkan berkurangnya jumlah sampah yang dihasilkan di pusat kota
Terakhir, bioetanol dianggap mampu meningkatkan perekonomian lokal. Meningkatnya permintaan bahan bakar ini sejalan dengan makin besarnya lapangan kerja.
Selain membutuhkan tenaga kerja di pabrik bioetanol, tercipta pula lapangan kerja di sektor pertanian, pemasok bahan baku, dan sektor terkait lainnya.
Sumber: Bloombergtechnoz dotcom